Senin, 30 Mei 2022

The Blocker Issue in Our Life: Part One –Mental Block Syndrome

 

Belum lama saya menulis catatan seputar grit yang merupakan salah satu nilai positif yang perlu ditingkatkan konsentrasinya dalam diri untuk dapat dijadikan modal dalam upaya mencapai goal yang telah kita tetapkan dalam hidup.

Kali ini, terinspirasi dari pengalaman di pekan ini, yang saya temukan dalam kegiatan pengujian IT sistem yang sedang dalam proses pengembangan di instansi tempat saya bertugas, saya menemukan istilah yang cukup memancing perhatian, kami menyebutnya blocker.

Dalam dunia pengembangan sistem, istilah blocker merujuk pada masalah yang kita temui selama pengembangan atau pengujian system yang tidak memungkinkan kita untuk melakukan pengembangan atau pengujian lebih lanjut. Sementara di speutar manajemen proyek, blocker diartikan sebagai segala sesuatu yang sepenuhnya mencegah kemajuan terjadi dalam suatu proyek. Blocker dalam proyek bisa berarti seseorang, sesuatu dan dapat bersumber dari lingkungan internal atau eksternal. Blocker menghentikan keseluruhan proses dan memerlukan perhatian segera untuk ditemukan solusinya jika benar-benar ingin mencapai tujuan.

credit picture : https://icon-library.com/icon/blocker-icon-9.html

Kembali pada cara kita mengelola diri, apakah ada kemungkinan isu blocker menghalangi kemajuan atau pencapaian tujuan kita sebagai individu?

Hasil sarapan saya pagi ini di bebeapa situs yang mengusung tema psikologi mempertemukan saya dengan topik mental block. Mengacu pada definisi dalam dictionary.cambridge.org, kita disebut memiliki mental block ketika tidak dapat memahami sesuatu atau tidak dapat melakukan sesuatu dikarenakan pikiran kita mencegahnya.

Sementara itu, dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Imani Campbell dan dimuat di situs Sage Neuroscience Centre,  berjudul "Overcoming Mental Blocks",  mental block diartikan sebagai kondisi ketika otak kita menemukan penghalang dalam mengakses kreativitas, motivasi, atau produktivitas.

Penyebab kita tidak dapat berpikir jernih dapat diakibatkan oleh beberapa hal, misalnya kurang tidur dalam waktu yang lama, tidak cukup mengonsumsi makanan bernutrisi, defisiensi vitamin B12 atau akibat konsumsi obat yang rutin dalam jangka waktu panjang atau penyalahgunaan obat.  Kebiasaan menyelesaikan tugas mendekati batas tenggat waktu atau tuntutan kerja, termasuk  menghadapi orang-orang atau kondisi lingkungan yang memicu kekhawatiran tingkat tinggi dan berujung pada tingkat stres yang tinggi juga bisa menimbulkan mental block. Lalu bagaimana jika kita sendiri mengalami hal yang serupa? Jika diri kita diibaratkan sebagai sebuah IT system, apakah kita perlu me-reset pikiran kita sebelum bisa memulai lagi proses berpikir yang produktif?

Beberapa sindrom yang mungkin pernah kita alami dan  berujung pada mental block diantaranya:

Imposter Syndrome

Jika kita pernah merasa takut bila orang lain memandang kita tidak memiliki kualifikasi yang pantas untuk menduduki suatu posisi di lingkungan kerja, saat itu kita mengalami imposter syndrome. Untuk mengatasi sindrom ini, kita bisa terus menggaungkan pikiran positif bahwa jika kita memang telah terpilih untuk posisi tersebut, pastilah ada sisi positif dari diri kita yang memang layak menjadi dasar pemilihan kita oleh pihak-pihak yang berwenang melakukan recruitment.

Decision Fatigue

 Dilain waktu, kita mungkin pernah juga mengalami proses pengambilan keputusan yang rumit karena banyakanya keputusan yang mesti diambil seharian penuh, misalnya  untuk hal-hal sederhana semacam memilih OOTD (outfit of the day) alias pakaian sehari-hari, rute mana yang harus dipilih untuk menghindari kemacetan, kostum anak yang hendak menghadiri pesta ulang tahun temannya pada sore hari, makanan apa yang bakal kita pilih untuk sarapan atau makan siang, siapa yang lebih baik menjemput anak-anak dari sekolah, kita atau kah suami?,  apakah sepulang kerja masih sempat berebalanja, atau apakah anak-anak akan diajak menonton fim ke bioskop malam harinya?. Runtutan kejadian harian yang memerlukan pengambilan keputusan, bisa menimbulkan kebuntuan saat berpikir. Ini fakta, karena sebagai seorang ibu bekerja, saya sering mengalaminya :D.

Cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurai kebuntuan proses berpikir adalah dengan menyederhanakan beberapa pilihan sehingga kita tidak perlu memikirkannya dengan serius. Misalnya, siapkan pakaian kerja dan kostum anak untuk ke pesta besok sore di malam sebelumnya, dan memilih menu sarapan dan makan siang yang senada sesekali harus kita toleransi. Demikian juga, memangkas rencana yang tidak menjadi keharusan atau prioritas semacam menghabiskan waktu dengan ke bioskop di malam hari bisa dialihkan ke hari yang lain. Pembuatan rencana yang disederhanakan dan dilakukan tidak dalam satu waktu ini memberikan kesmepatan kepada kita untuk terhindar dari kekhawatiran yang tidak perlu plus bisa mengalihkan perhatian kita untuk dapat fokus ke hal lain yang lebih penting.

Kurang lebih demikianlah sarapan pagi saya hari ini 😊, mungkin bukan hanya saya yang pernah mendapat pengalaman menghadapi mental block dalam keseharian. Bisa jadi kita senasib meski kadar blocker dalam diri kita mungkin tak setara. Smoga catatan kecil ini bisa menjadi pengingat diri untuk mengarungi hari ini dengan pikiran yang lebih terbuka bebas dari mental block. Have a nice day..

 

pranala:

https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/mental-block

https://sageclinic.org/blog/overcoming-mental-blocks/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar